“Mbak.. sini deh.. aku tunjukin”, sembari Nunuk menarik tanganku menuju kamar mama. Dia mengambil dompet kecil mama dan mengeluarkan beberapa carik kertas yang sudah kusut bekas diremas tak beraturan dan menyerahkannya padaku.
Dalam keadaan bingung aku membuka kertas-kertas tersebut dan membaca isinya. Dooorrr!!!.
“Aku temukan itu tadi waktu mau nyuci jaketnya mas Rangga, trus aku kasih ke ibu”, kata Nunuk tanpa menunggu aku bertanya. “Oleh ibu dibaca lalu kertas-kertas itu dimasukkan ke dompet”, Nunuk menambahkan sambil melihat ekspresiku.
“Ibu sedang apa waktu kamu kasih kertas itu?“.
“Baru dari rumah bu RT menyiapkan acara nanti malam”, “Abis baca langsung masuk kamar, keluar dan pergi lagi ke rumah bu RT sampai sekarang bareng ibu-ibu yang lain bantuin buat acara malam tahun baru”, Nunuk nyerocos sambil melihat ke mataku.
Aku melanjutkan membaca empat lembar kertas sobekan dari buku notes kecil berwarna biru, apa hijau aku tidak seberapa memperhatikan, yang biasanya dipakai untuk menulis diary remaja zaman dulu.
Aku berusaha tidak menampakkan ekspresi kagetku di depan Nunuk dan menyuruh dia segera mengembalikan ke tempat semula. Nunuk terlalu pintar untuk dibohongi. Walaupun dia agak buta huruf tapi dia pandai baca wajah orang. Aku tidak mau terperangkap olehnya.
“Ooo ini tulisan biasa! Kembalikan ke tempat semula supaya ibu gak tau” kataku.
Lalu kami keluar dari kamar ibu, melanjutkan kegiatan masing-masing.
Aku baru pulang kerja, baru melepas sepatu dan meletakkan tas kerja di meja belakang. Yang kupikirkan hanya ingin mandi dan biasanya makan masakan ibuku terlebih dahulu baru istirahat, nonton TV sambil ngobrol menunggu sholat maghrib bersama keluarga besar.
Aku membiasakan menyantap masakan ibu yang memang selalu kurindu, walaupun masih kenyang aku akan tetap makan walau sedikit. Suatu bentuk sederhana penghargaan pada ibu yang menyiapkan masakan untuk keluarga.
Tapi hari itu, setelah membaca kertas-kertas itu pikiranku berkecamuk. Mencoba tak percaya dan membayangkan seperti apa ekspresi ibuku.
Tidak sabar aku menunggu ibu.
Tapi aku tidak menemukan ekspresi berbeda saat bertemu dengannya sore itu. Mungkin beliau terlalu sibuk dan menikmati menyiapkan acara malam tahun baru di kampung kami bersama ibu-ibu RT. Hingga malam berlalu...
“Mbaaak sini deh!” sambil mengedipkan mata menunjukkan bahwa “‘jangan ketahuan yang lain’, ibu mengajakku ke lantai atas.
Dada ku berdegup kencang, aku tahu ibu akan menunjukkan apa padaku. Aku sebenarnya sangat tidak siap menghadapi itu, aku tidak siap melihat ekspresi ibu saat menyampaikannya, aku tidak siap menghadapi kenyataa bila itu benar. Sambil berdoa aku mengikuti ibu ke lantai atas rumah kami.
“Kemarin mama dikasih ‘ini’ sama Nunuk”, sambil menunjukkan kertas-kertas yang kemarin sudah aku baca. Aku berusaha pura-pura baru tahu dan pura-pura membaca ‘surat’ itu.
Lalu aku melihat ke mata ibuku, beliau tampak tegang, berusaha menahan emosi, bicaranya masih tenang, berbeda dengan aku yang gemetaran. Entah apa yang kupikirkan sudah gak jelas.
Gini aja, ma.. aku akan panggil Dewi ke atas sini tanpa ketahuan yang lain. Aku akan alihkan keluarga yang ada di rumah ini agar gak tau kejadian ini.
Akupun turun mencari adikku, Dewi. Kulihat Rangga sedang baca koran di teras. Dewi sedang di kamarnya membereskan barang untuk dibawa pulang ke rumah mereka nanti siang. Dewi dan Rangga sudah menikah sekitar 3 tahun lalu tapi belum dikaruani anak. Mereka sedang berusaha, sudah ke dokter tapi belum berhasil.
Kami sekeluarga semenjak papa meninggal, membiasakan bila ada waktu pada malam tahun baru berkumpul bersama di rumah orang tua kami. Menemani mama agar tidak terlalu kesepian dan merasa sendiri saat hingar-bingar keramaian di luar rumah. Dulu, pada saat ada papa kami berdoa bersama menyambut malam tahun baru. Hal indah itu yang ingin kami lestarikan bersama keluarga, berkumpul, bercengkerama, berdoa bersama dan menyampaikan resolusi kami bergantian. Jarang diantara kami yang berpesta tahun baru di luar, kecuali ada undangan acara kantor.
Tapi berbeda tahun baru kali ini,
Sambil berbisik aku menghampiri adikku Dewi, “dipanggil mama, di atas” sambil telunjuk tanganku di bibir, menyampaikan agar jangan ketahuan yang lain.
Adikku Dewi menurut saja tanpa bertanya. Aku tunggu di bawah tangga. Menjaga kemungkinan terburuk.
Beberapa saat kemudian Dewi turun. Agak tergesa. Sempat kulihat wajahnya.. tampak panik berjalan ke teras memanggil suaminya dan merekapun masuk kamar. Tidak terdengar keributan.
Sekitar lima belas menit kemudian ibuku turun dengan wajah datar dan mata merah berjalan menuju kamar adikku tanpa aku sempat bertanya pun menghalangi. Tetap tidak terdengar keributan. Rupanya mereka berbisik. Marah tapi berbisik. Mereka sadar, mereka tidak mau aib keluarga diketahui tetangga, sementara rumah kami berada di ‘gang kelinci’ yang hanya dibatasi tembok pembatas tipis. Beruntung ayah kami membuat pembatas, jarak semacam gang yang cukup sebadan orang dewasa di sekeliling rumah saat pertama membangun rumah kami agar ada udara dan matahari bisa masuk rumah.
“Bagaimana ma”, tanyaku setelah mama keluar dan menarikku ke lantai atas lagi.
Beruntung minggu pagi itu, anggota keluarga lain masih sibuk di kamar masing-masing. Jadi tidak ada yang memperhatikan kegiatan ‘hebat’ kami bertiga.
“Mama minta Rangga segera menyelesaikan perceraiannya dengan istri pertamanya! Mama kasih waktu 3 bulan maksimal”
“Bagaimana dengan Dewi”, tanyaku..
“Dewi memaafkan, melihat kesungguhan Rangga bersujud cium kaki mama, minta maap beralasan tidak punya uang yang cukup untuk mengurus perceraian, dia mengakui punya 2 anak yang sudah SMA dan satunya mau masuk SMP. Anak yang di surat dimintakan uang sekolahnya”. Ini yang membuat Dewi trenyuh. Dia marah karena dibohongi selama 3 tahun, suaminya mengaku single tapi ternyata sudah pernah menikah, proses cerai yang menggantung hingga saat itu.
Adikku terlalu baik dan lugu? Entahlah!
“Yang tiga tahun lalu menjadi pendamping pengantin mereka adalah orang bayaran untuk mengaku sebagai wakil keluarga”, sedangkan ibu kandung Rangga terlalu tua dan tidak mungkin hadir saat pernikahan mereka. Juga kakak kandung Rangga yang harus jaga ibu mereka tersebut. Hal ini sudah dibuktikan adikku saat perkenalan mereka pertama kali ke kampung halaman Rangga”, lanjut ibuku berusaha menjelaskan dengan tegar namun air mata tak bisa dibendung mengalir deras di pipinya yang masih halus mulus di usia 65 tahun.
“Mama gak kuat, mama salah apa ya kak..” , erang mama sambil menangis, setiap waktu berulang kali, bila akan tidur saat aku menemaninya.
Empat bulan berlalu, tidak ada kabar baik. Mereka berdua menghindar bila ditanya. Berusaha mengalihkan pertanyaan mama tentang progress perceraian suaminya
Sampai di suatu sore,
“Mbaaaaaak sini! Tooooolooong!!”, teriak Nunuk asisten rumah tangga kami memanggilku sekuat tenaga memecah keheningan sore menjelang maghrib.
Tampak mama tergeletak di kamarnya, seperti tidur tapi tak bergerak walau sudah diguncang dibangunkan berulang kali.
Hanya kami bertiga di rumah. Keluarga lain belum pulang dari tempat kerja.
Tidak sampai sehari di ICCU, ibu kami tercinta meninggalkan kami dengan tenang tanpa pamit, namun tampak tersenyum meninggalkan kami melepas deritanya, dengan membawa rahasia dan aib besar dari anggota keluarga kami yang lain..
Semoga mama berbahagia sudah ketemu papa di alam sana..
Al-Fatihah...

No comments:
Post a Comment